Berbagi, Mengabdi, Bersama Membangun Negeri

Kamis, 28 April 2016

Refleksi Semangat GPAN Dengan Kontribusi Nyata Untuk Generasi Bangsa

Oleh: Abdul Rahim


Hampir setahun perjalanan Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) sebagai wadah untuk membina minat baca generasi muda melalui beberapa program-program yang dicanangkan, namun sejauh ini pula ruang gerak GPAN seperti stagnan tanpa massifnya dukungan-dukungan dari berbagai pihak yang sangat diharapkan. Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara yang sedari awal ingin fokus untuk distribusi buku dengan membidik beberapa panti asuhan sebagai binaan, namun karena terkendalanya donatur buku, maka tindakan nyata untuk gerakan ini, setiap minggunya kunjungan ke panti asuhan binaan (salah satunya Panti Asuhan Azzuhriyah, Yogyakarta) dengan program bimbingan belajar dan game-game edukatif agar generasi muda di panti tersebut juga semakin terlecut geliat belajarnya. 

Seperti halnya gerakan-gerakan sosial lainnya yang pastinya juga merangkak di awal untuk berkembang, begitu juga GPAN saat ini, merangkak secara pelan, namun pasti arahnya, yaitu membumikan budaya membaca untuk generasi muda sebagai langkah awal membangun intelektualitas. Bertepatan dengan hari buku sedunia yang telah lewat beberapa hari lalu, media banyak memberitakan tentang ceremonial hari tersebut, akan tetapi dampak berkelanjutan setelah ceremonial bisa dikatakan belum massif. Padahal gerakan turun tangan yang dapat kita lakukan untuk membudayakan membaca cukup banyak sekali, salah satunya dengan mendorong berkembangnya gerakan-gerakan sosial yang berupaya untuk itu, semisal dengan menjadi donatur buku, atau membantu menyebar luaskan informasi tentang gerakan-gerakan sosial itu, agar semakin banyak yang mengetahui gerakan baik tersebut.

Tidak dipungkiri, peran media dalam men-setting persepsi masyarakat melalui pemberitaan akan suatu gerakan, cukup efektif juga sebagai ruang promosi untuk berkembangnya. GPAN untuk promosi melalui media Nasional belum ada lirikan karena kurangnya jaringan pada insan media/pers. Akan tetapi walaupun tidak ada pemberitaan, gerakan nyata tetap berjalan, salah satunya dengan tetap konsisten untuk kunjungan ke Panti Asuhan yang terprogram selama beberapa bulan untuk tiap Panti Asuhan. Di samping itu, dengan memanfaatkan media sosial berupa Web, Facebook, twitter, instagram dan lainnya, sebenarnya dapat juga dimanfaatkan sebagai media promosi dengan redaksional yang persuasif agar semakin banyak yang tertarik untuk ambil bagian di dalamnya.

GPAN Jogja saat ini dengan jumlah anggota berkisar 43 orang sedang menjajal kreatifitas mereka dengan berkontribusi nyata melalui gerakan baik ini. Sebaran anggota yang beragam dari mahasiswa S1 dan S2 dari berbagai kampus di Yogyakarta, namun tetap solid untuk bersama-sama dengan aksi nyata untuk tercapainya tujuan komunitas ini. Begitu juga dengan GPAN di kota-kota lainnya seperti Malang, Lamongan, Bandung dan Jember, kontrbusi sosial melalui wadah GPAN di daerah masing-masing sangat membutuhkan konsistensi, agar GPAN bukan hanya nama, namun sesuai label Nusantara yang telah digunakan seharusnya akan berprogres besar untuk tersebarnya di seluruh wilayah Nusantara. tentu saja dengan dukungan nyata, tindakan nyata dalam mengembangkan gerakan ini. Membangun Kompetensi Literasi

Selain menggalakkan budaya membaca, tidak menutup kemungkinan melalui GPAN ini juga digalakkan budaya menulis. Jika otak kita ibarat sebuah teko, membaca adalah cara mengisi teko tersebut dengan berbagai pengetahuan, lalu menulis itulah bentuk penuangan isi teko tersebut. Apa jadinya jika teko hanya penuh berisi air, namun tidak dituangkan dan hanya tersimpan di dalamnya, lama kelamaan air yang didalamnya akan rusak substansinya. Begitu juga dengan pengetahuan yang kita serap, jika tidak dituangkan (salah satunya dengan menulis, atau mengajarkan pada yang lain) maka lama-kelamaan akan terlupakan juga, itulah yang memunculkan pernyataan "semakin banyak yang dibaca, semakin banyak yang dilupa". Padahal semakin banyak bacaan yang kita serap, semakin banyak pengetahuan yang didapat, memang tidak semua langsung bisa diingat, namun jika sudah tersimpan di memori jangka panjang (Long term memory), maka suatu saat pasti akan teringat juga, salah satu cara untuk mengingat kembali (recall) pengetahuan-pengetahuan tersebut melalui menulis.

Dengan kompetensi literasi yang baik dari anggota GPAN, maka bukan hal yang mustahil jika setiap anggotanya juga berkarya melalui tulisan, bahkan lebih jauh jika sudah berkembang besar dalam skala nasional, bukan tidak mungkin GPAN mempunyai penerbit sendiri untuk mengakomodir karya-karya anggota maupun anggota binaan, sehingga gerakan budaya membaca lebih mudahnya digalakkan jika bahan bacaan cukup tersedia untuk didistribusikan.

Seperti halnya dukungan dari pusat perbukuan dahulu yang sering mengadakan sayembara penulisan Naskah, lalu naskah pemenang itu pun dicetak dalam skala besar dengan dilabeli "Milik Negara Tidak Untuk Diperdagangkan" untuk didistribusikan ke tiap-tiap perpustakaan sekolah. Sehingga dukungan untuk budaya membaca dengan buku-buku gratis dari pemerintah langsung dapat dinikmati oleh masyarakat (Khususnya peserta didik). Di samping itu penghargaan untuk pengarang pun sangat dihargai dengan reward-reward yang disediakan panitia.

Berbeda halnya dengan keadaan sekarang yang setiap terbitan buku sangat dikomersilkan. Inilah salah satu kendala yang dihadapi GPAN ketika ingin fokus mencari donatur untuk distribusi buku. Maka pamflet-pamflet dan proposal kerja sama untuk mencari donatur dan sumbangan buku-buku bacaan bekas mulai dilayangkan. Setidaknya kontribusi sosial seperti ini yang sudah dilakukan dan akan terus dikembangkan ke depannya.

Melalui GPAN ini bukan hanya berkontribusi untuk orang lain, namun manfaat untuk diri sendiri akan sangat berdampak dalam membentuk karakter anggota GPAN. Jika sudah terbiasa bermanfaat untuk orang lain, manfaat yang lebih besar untuk diri sendiri akan senantiasa mengikuti. Seperti halnya kebahagiaan sejati adalah ketika kita bisa melihat orang lain bahagia, maka alangkah bahagianya ketika generasi bangsa ini dengan semangat intelektualitas dan kepedulian sosial yang tinggi akan mampu membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik. dan semangat itu akan terus ditanamkan GPAN dengan kontribusi nyata untuk generasi bangsa ini.

Website    : www.gpan.or.id
Blog         : https://gpanyogyakarta.blogspot.co.id
Email       : gpanpusat@gmail.com | gpanregionaljogja@gmail.com
Instagram : @gpanjogja
Facebook : Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara
Kontak donasi buku : 085733438854 (Imam)
                                   085741234811 (Hakim)
Share:

Sabtu, 16 April 2016

GPAN : Memperkuat Modal Sosial

(Foto: Rapat koordinasi dengan Gpan Malang) 
Modal sosial atau jaringan sosial merupakan asset yang sangat bernilai. Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja sama satu sama lain—dan tidak sekadar dengan orang yang mereka kenal secara langsung—untuk memperoleh manfaat timbal balik. (Field, 2003: 18). Pengertian di atas memberikan penjelasan bahwa modal sosial sebagai asset yang sangat bernilai dalam suatu ikatan persaudaraan atau untuk mencapai suatu tujuan. Semakin kuatnya ikatan pertemanan dan luasnya jaringan akan mempermudah seseorang dalam meraih tujuanya. Untuk memperluas dan memperkuat modal sosial, seseorang bisa ikut serta dalam berbagai komunitas atau organisasi yang diminati. Salah satu komunitas yang bisa dijadikan pilihan untuk memperluas dan memperkuat jaringan sosial yakni komunitas Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara.

Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) merupakan komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Gerakan ini membantu anak-anak Nusantara, khususnya yang kurang mampu secara ekonomi untuk memperoleh sumber belajar berupa buku. Selain itu, GPAN pun melayani penyaluran buku-buku sumbangan dari berbagai kalangan dan mengembangkan perpustakaan di daerah-daerah yang membutuhkan buku referensi. GPAN juga melakukan kegiatan belajar mengajar untuk menambah wawasan dan membantu meningkatkan minat baca anak-anak nusantara, serta menanamkan karakter yang baik agar menjadi generasi emas di masa yang akan datang. Sumber dana komunitas ini berasal dari donatur dan kegiatan wirausaha sosial yang dijalankan oleh tim GPAN. Beberapa program unggulan yang ada di GPAN seperti buku berjalan, gerakan 1000 pena, mendidik dan menginsprasi, menonton film inspiratif bersama masyarakat desa, tebar buku, pengembangan perpustakaan, dan bazar.

Serangkaian kegiatan yang ada di gerakan perpustakaan anak nusantara didesain untuk meningkatkan minat baca dan mengajak seluruh elemen masyarakat ikut serta dalam membantu anak-anak nusantara. Anggota komunitas GPAN berasal dari berbagai wilayah Jawa dan luar pulau Jawa, seperti Sumatera, NTB, NTT, dan Papua. Selain itu, anggota komunitas GPAN juga terdiri dari para mahasiswa S1 dan S2 serta penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP. keberagaman anggota GPAN dari berbagai pulau dan jenjang pendidikan baik, S1 dan S2 tentu sangat menguntungkan untuk memperluas dan memperkuat modal sosial untuk menuju masa depan yang lebih baik. Dengan catatan setiap pribadi mampu menjalin komunikasi dengan baik.

Sepeti yang sudah di katakana Putnam, 2000: 19; Woolcock, 1998 (dalam field, 2003: 18) Hubungan sosial ini akan mengantarkan seseorang dalam kehidupan yang lebih baik. Putnam menyatakan bahwa menggunakan hubungan untuk bekerja sama membantu orang memperbaiki kehidupan mereka. Hubungan kerjasama yang dijalin bisa dalam berbagai hal. Sebagai contoh, jika seseorang merencanakan ingin membuat sebuah bisnis dalam skala cukup besar atau kecil, maka kerjasama dengan teman merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mempermudah membangun usaha, baik dari segi modal, ide, atau lainnya. Bisnis akan semakin cepat berkembang karena relasi dari setiap anggota tim. Selain itu, perkembangan bisnis juga didukung dengan semakin banyak pengguna relasi di media sosial. Dan tanpa disadari kebiasaan masyarakat sekarang menginformasikan segela aktivitas yang mereka jalankan ke media sosial seperti BBM, LINE, WhatsApp, facebook, dan lain sebagainnya. Hubungan atau jaringan sosial ini yang menjadi salah satu modal seseorang untuk meraih kesuksesan dan mempermudah dalam bertindak secara positif.

Putnam menyatakan bahwa modal sosial bagian dari kehidupan sosial—jaringan, norma dan kepercayaan –yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. (Putnam, 1996: 56, Dalam field, 2003: 51). Sejalan dengan hal tersebut, kegiatan yang didesain dan dijalankan komunitas GPAN tentu sangat bermanfaat untuk memperkuat modal sosial. Kuatnya jaringan sosial antara anggota akan mempermudah berkontribusi untuk negeri ini. Setiap anggota diharapkan menjalin kerjasama dengan baik untuk mengembangkan ide-ide kreatif untuk memecahkan masalah yang ada. Negeri ini benar-benar butuh uluran tangan secara nyata. Kita mempunyai tanggungjawab untuk memberikan yang terbaik untuk Indonesia tercinta. Ingat sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Dengan demikian, mari bekerjasama dan berkontribusi untuk membangun Indonesia. #‎salammengabdi
Yogyakarta, 06 Januari 2016


Imam arifa’illah Syaiful Huda
Share:

Menulis: Babak baru dalam Budaya Masyarakat

“Jika Kamu bukan seorang Kaya, bukan juga seorang Bangsawan maka menulislah, maka dunia akan mengenang Namamu”. (Imam Syafi’i).
 Oleh : Abdul Rahim

Di era teknologi yang berkembang pesat dengan kehadiran ponsel pintar (gawai) yang kian hari semakin marak ragamnya, bisa dikatakan sebagai pendobrak yang menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat pembaca. Bayangkan di setiap momen kita melihat sebagian besar orang akan berkutat dengan ponsel pintarnya, entah itu membaca berita, atau sekedar membaca pesan atau membaca kabar berita di facebook. Bahkan ketika berkumpul bersama kawan-kawan yang seharusnya menjadikan kita untuk akrab mengobrol bersama mereka, kadang kita hanya sibuk sendiri membaca di ponsel pintar.

Ketika masyarakat kita yang telah gandrung membaca, maka sudah seharusnya juga menjadi masyarakat penulis sebagai penuangan dari isi bacaan yang telah diserap. Penyaluran minat menulis saat ini tidak terlalu susah untuk mendapatkan pembacanya. Media-media warga yang berbasis Online dengan kemudahan yang disajikan menjadi pilihan untuk publikasi tulisan. Budaya menulis saat ini sedang mengalami geliat di masyarakat kita terbukti dengan intensitas pengguna facebook update status yang berisi ungkapan hati, catatan perjalanan, kritik, tak jarang berbagi inspirasi atas apa yang telah mereka alami.

Jika kita menilik ke belakang beberapa puluh tahun lalu sebelum media Online bertebaran seperti saat ini, budaya menulis juga pernah menjadi trend dan mampu menghasilkan karya-karya besar melalui buku saku yang dikenal dengan “Diary”. Sebut saja catatan perjalanan Nugroho Notosusanto ketika menjadi bagian dari tentara pelajar untuk perjuangan kemerdekaan, catatan tersebut menjadi buku kumpulan Cerpen yang berisi sejarah dan menginformasikan kepada pembaca bagaimana gerak perjuangan para pahlawan kita. Begitu pula dengan catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi Novel “Titik Nol” dan “Selimut Debu”.

Selain itu budaya menulis masyarakat penuntut ilmu di waktu dulu juga sangat menarik untuk membaca diary mereka. Secara tidak sengaja ketika sedang mencari arsip untuk akte kelahiran di tumpukan buku-buku yang bahkan sebagian besarnya termakan rayap, saya menemukan Buku bersampul plastik yang tampak kusam, lembaran-lembaran di dalamnya pun hampir berubah warna. Dari lembar pertama tertulis nama pemiliknya disertai tanda tangan, ternyata itu buku harian Almarhum Bapak yang tertumpuk di antara buku-buku lama tersebut. Lalu pada lembar kedua berisi catatan beliau ketika mengikuti pengajian sewaktu di Pesantren dengan sistim Hauqalah (bersila). Tertulis tanggal 7 Maret 1961 di salah satu Mushalla yang disebut Al Abror, pada catatan tersebut beliau menulis poin-poin isi pengajian pada hari itu serta di akhirnya dibubuhkan Mahfuzhat (kata mutiara) yang menjadi penutup pengajian. Lembar demi lembar pada buku harian tersebut seakan bercerita bagaimana beliau menjadikan buku harian tersebut sebagai pengikat Ilmu yang telah didapatkan dari gurunya.

Salah satu mahfuzhat yang cukup berkesan saya baca pada buku harian tersebut yang kira-kira terjemahannya ” Ilmu ibarat binatang buruan, maka ikatlah binatang buruanmu dengan kuat, yaitu dengan Tulisan”. Karena dengan menulislah buku harian 50 tahun lalu masih bisa saya baca pada saat ini, isi tulisan itu pun sangat bermanfaat, tentang hukum-hukum fiqh disertai dalil yang kuat yang dirangkum oleh beliau. Tradisi tersebut terus berlanjut juga di antara saudara-saudara saya yang mendapatkan didikan di pesantren dengan sistim hauqalah ( salah satunya Mahad Darul Qur’an Wal Hadits), buku catatan harian mereka masih tersimpan, bentuk catatan tersebut persis seperti yang terdapat pada diary Almarhum Bapak. Dari segi isinya catatan harian saudara-saudara saya lebih update dengan kondisi zamannya ketika mengikuti pengajian tersebut, namun ketika membahas tentang hukum, dalilnya pun tetap sama.

Budaya menulis juga pernah menjadi penyumbang terbesar sebagai media inspirasi dalam berkarya. Buku-buku terbitan tahun 90-an sampai 2004 banyak kita temukan di sampul depannya tertulis “Milik Negara Tidak Diperjual Belikan”, atau di dalamnya juga terdapat informasi bahwa buku tersebut merupakan Pemenang Sayembara Penulisan Naskah, atau Juara dalam lomba mengarang yang biasanya diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku-buku terbitan tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi karya yang secara langsung diterbitkan oleh pusat perbukuan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan peserta didik. Maka tak jarang buku-buku seperti itu banyak kita temui di berbagai perpustakaan Lembaga Pendidikan, karena ketika sudah diterbitkan oleh pusat perbukuan maka akan didistribusikan langsung kepada lembaga-lembaga pendidikan, sekaligus sebagai sebuah promosi atas karya tersebut.

Salah satu media yang cukup inspiratif waktu dulu (sekitar tahun 95) sebagai tempat menyalurkan minat menulis yaitu majalah Asyik,  dengan tokoh utama si kucing. Majalah Asyik bisa dikatakan majalah Favorit yang selalu ditunggu-tunggu untuk setiap edisinya, lebih-lebih dengan sajian konten lokal yang sarat dengan nilai inspirasi, menjadikan majalah tersebut sebagai bacaan wajib untuk anak-anak sekolah dasar. Pada Rubrik sastra juga banyak diterbitkan kiriman-kiriman tulisan dari siswa-siswa yang menjadi kebanggan bagi suatu sekolah yang karya siswa mereka dimuat di majalah Asyik. Namun sangat disayangkan majalah tersebut tidak bertahan cukup lama, tergeser dengan budaya visual televisi, yang sempat menjadikan anak-anak sekolah menjadi malas membaca dan lebih gandrung dengan acara-acara televisi yang lebih banyak menjadikan karakter siswa kita menjadi hedonis dengan konten-konten yang ditampilkan di TV.

“Menulis adalah salah satu jalan mengabadikan nama kita untuk dikenang” ( Baim Lc),  setidaknya kata-kata inilah yang menjadi motto yang saya tuliskan dalam lembar motto dan persembahan skripsi. Jika saja filsuf-filsuf besar, Ilmuan Muslim, ataupun ilmuan besar lainnya tidak menulis, maka tidak ada yang akan mengenang mereka. Imam Gazhali dengan Ihya’ ulumuddin yang tersohor sampai dijadikan rujukan oleh filsuf-filsuf besar lainnya, nama beliau masih tetap hidup sampai sekarang karena budaya menulis yang beliau tanamkan pada diri sendiri. begitu pula Ibnu Sina, al farabi, Ibnu Rusyd, Al kindi dan lainnya dapat kita kenal sampai saat ini karena mereka menulis dan mencatatkan nama mereka di antara jajaran Ilmuan muslim yang mempunyai karya besar dan relevan sampai sekarang.

Bahkan Al Qur’an yang agung dapat kita kaji sampai detik ini dalam bentuk Utuhnya sebuah kitab, muncul karena budaya Menulis yang ditakutkan akan hilang jika tidak ditulis. Karena wahyu yang diterima Rasulullah bukan dalam bentuk tulisan akan tetapi ilham-ilham maupun bisikan  (lisan) yang langsung dapat dihapal oleh beliau. Barulah ketika masa khalifah Abu Bakar setelah terjadinya perang Yamamah (Perang melawan Nabi Palsu, Musailimah Al Kadzab), banyak di antara penghafal Al Qur’an yang wafat, ketakutan akan hilangnya Al qur’an inilah yang membuat Umar Bin Khattab tergerak untuk mengumpulkan para sahabat penghapal Al Qur’an untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ilham untuk menuliskan Al Qur’an ini sudah pasti dari Allah SWT sesuai dengan firman-Nya ” Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur’an dan kami pula yang akan menjaganya (Al Hijr : 9). Secara tersirat penulisan al qur’an ini sebagai ibroh ( pelajaran) bahwa dengan tulisan sesuatu dapat bertahan bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sebut saja penulis-penulis besar yang cukup berpengaruh di Indonesia dalam dunia kepenulisan, seperti Buya Hamka, Chairil Anwar, Pramoedya, A.A Navis dan lainnya, nama mereka sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam kajian-kajian keilmuan, baik sejarah maupun semangat gerakan perjuangan yang digaungkan melalui tulisan mereka. Melalui Tulisan, Pramoedya membingkai sejarah revolusi bangsa kita yang sekarang telah dikenal luas,  sehingga melejitkan nama Pram dengan slogan,  Dari Indonesia Untuk Dunia. Dengan tulisan pula semangat perjuangan yang digaungkan para pahlawan bangsa kita dapat kita tahu dan tergerak untuk mengenangnya. Karena sejarah yang tidak dituliskan hanya akan menjadi ingatan yang hilang ditelan zaman.

Maka pantas saja salah seorang Budayawan NTB, Salman Faris, dengan novel budaya dan novel sejarah yang dibingkai dengan sastra pernah mengatakan, ” Tulisan itu lebih abadi, bahkan melebihi anak kita sendiri”, dan itu sudah terbukti, tulisan-tulisan ber-abad-abad lalu masih dapat kita nikmati sampai saat ini. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa penulis sudah pasti orang yang berilmu, bukan orang bodoh, dan janji Allah sudah pasti bagi orang yang berilmu ” Sesungguhnya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat”. (Al Mujadalah : 11), karena tulisanlah banyak orang-orang biasa yang bukan orang kaya atau pun bangsawan dapat dikenal luas, sebagaimana halnya mahfuzhat Imam Syafi’i di atas.

Menulis merupakan salah satu cara mengorganisir pikiran, maka tidak menutup kemungkinan menulis juga merupakan salah satu refleksi untuk menenangkan pikiran. Dengan menuangkannya melalui tulisan setidaknya pikiran yang menjadi beban akan terasa lebih ringan walaupun hanya dibaca oleh diri kita sendiri. Menulis bukan hanya untuk mendapatkan pujian, atau juga kepedulian dari pembaca, akan tetapi dengan menulis, pikiran maupun ide-ide yang tersimpan dalam otak kita mendapatkan ruangnya untuk ditumpahkan dan seakan lebih hidup dari pada hanya tersimpan di otak.

Salah satu Buku “menyikapi krisis Inovasi Daerah, yang merupakan buah karya dari seorang birokrat, mantan Wakil Gubernur NTB, Badrul Munir menuliskan tentang Inovasi-inovasi yang seharusnya dilakukan oleh daerah sebagai sebuah strategi dalam percepatan pembangunan, lebih khusus pada buku tersebut tentang pembangunan sosial dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sub judul isi buku tersebut yaitu ” Kaya sarjana Miskin Karya”, setiap tahun kampus-kampus kita di daerah mengeluarkan ribuan sarjana, namun butuh bertahun-tahun menunggu satu orang yang mengeluarkan karya besar. Perguruan Tinggi pun hendaknya melakukan Inovasi untuk mencetak sarjana-sarjana yang menyumbangkan karya untuk daerah.

Jika dalam buku tersebut yang dibahas hanya inovasi dalam bidang sosial dan pengentasan kemiskinan, maka inovasi dalam bidang Pendidikan, Literasi dan Budaya hendaknya dipertimbangkan juga untuk tercapainya percepatan pembangunan. Salah satu Inovasi dalam bidang pendidikan dan Budaya yaitu budaya menulis yang seharusnya mendapat ruang apresiasi dan diakomodir oleh pemerintah Daerah yang notabenenya sebagai wakil dari Negara untuk membentuk sebuah lembaga sebagai wadah apresiasi suatu karya.

Penyediaan wadah apresiasi dari sebuah karya dapat dilakukan dengan menyediakan penerbitan berskala Nasional yang merupakan bagian dari lembaga Kepemerintahan Daerah, serta dengan diintensifkannya lomba-lomba penulisan karya. Secara sederhananya Pusat Perbukuan untuk daerah merupakan sebuah Inovasi yang cukup baik untuk membangun budaya Literasi. Banyak kita temukan penulis-penulis daerah yang  bertalenta berbagi inspirasi melalui tulisan menerbitkan karyanya pada penerbit-penerbit luar yang didominasi di pulau Jawa. Itupun kadang menggunakan Biaya sendiri dengan sistem penjualan pribadi dari karya tersebut, padahal kapasitas Pemerintah Daerah untuk mengelola penerbit sendiri yang berskala Nasional bisa saja digulirkan di bawah pengawasan lembaga Pemerintah Daerah seperti BAPPEDA, Perpustakaan Daerah, atau Kantor Bahasa yang membidangi Literasi.

Maka budaya menulis tersebut sangat representative sebagai sebuah Inovasi dalam berbagi Inspirasi yang sudah sewajarnya mendapat dukungan dari semua pihak, lebih-lebih pemerintah daerah. Pun, demikian dengan Media online di NTB yang digulirkan bertajuk Kampung Media, kadang tidak semua lapisan masyarakat mampu menikmati fasilitas untuk akses website tersebut yang memang banyak pula berbagi inspirasi di dalamnya. Untuk itu inovasi untuk pusat perbukuan daerah dengan penyediaan Penerbitan berskala nasional akan sangat banyak mendapatkan apresiasi dan antusias,  sehingga geliat masyarakat untuk membudayakan literasi dalam berbagi inspirasi akan menemukan titik temunya, dan melalui pusat perbukuan daerah dengan distribusi buku hasil karya warga daerah akan semakin membuka wawasan generasi muda daerah untuk gemar membaca demi tercapainya pemerataan pendidikan yang memadai di tiap daerah.

Di samping itu pengadaan Lomba/sayembara penulisan naskah merupakan sebuah wadah untuk apresiasi semangat literasi di daerah,  yang akan mampu mendobrak minat dan penekunan budaya menulis sebagai sebuah langkah awal dalam berbagi inspirasi. Untuk itu program Kelas Menulis, Bedah Karya atau Sekolah Menulis seperti yang telah dicanangkan BAPEDA termasuk sebuah Inovasi dalam membangun budaya. Hal ini sejalan dengan rancangan Peraturan Gubernur yang pernah digaungkan tentang habitus membaca sastra, karena melalui gemar membaca, keluasan wawasan masyarakat akan sangat membantu demi terwujudnya pendidikan yang baik.

Apatah lagi sekarang ini kita tergerak membangun budaya Literasi, membaca saja bukan lagi hal menarik bagi generasi muda di tingkat pelajar, sebab banyak membaca akan tergerak pula ide untuk menulis. Lebih banyak kita temukan siswa-siswa kita lebih tekun duduk di tepan TV dari pada terpekur menikmati buku. Untuk itu dengan semangat Inovasi dalam membangun budaya baik ini, sudah sewajarnya digaungkan gerakan-gerakan kreatif seperti yang diungkap di atas demi terwujudnya tujuan ini
Share:

GPAN : Membumikan Budaya Membaca sebagai Langkah Awal Membangun Bangsa.

Seolah tanpa beban berat, beliau tampak tak acuh dengan padatnya lalu lalang di samping pasar beringharjo, jalan menuju taman Pintar pada pagi hari itu (26-12-15). Berbekal Plastik bekas cukup lebar yang digelar di trotoar jalan tersebut, di atasnya tergelar pula bermacam Koran harian yang setia ditunggu oleh bapak tua tersebut. Saidi (Umur 54 tahun menurut penuturannya), sembari menunggu dagangannya ada yang beli, terlihat serius sekali dengan bacaannya pada salah satu koran yang beliau pegang. Di usia yang sudah udzur beliau masih tekun mengikuti perkembangan berita harian melalui koran yang beliau jual. Semisal ungkapan “sambil menyelam minum air”, beliau mencoba mencari nafkah melalui gelarannya tersebut, di samping itu tetap mendapat informasi melalui bacaannya.

Melihat ketekunan bapak penjual koran tersebut dalam membaca, mengingatkan saya pada ulasan yang ditulis salah seorang Pimpinan Pondok Pesantren di NTB tentang bapak tua penjaga Toko Buku di bilangan Ampenan, Mataram, tempat Pimpinan Ponpes tersebut biasa membeli bahan bacaan untuk keperluan perpustakaannya. Beliau menulis, penjaga toko buku tersebut walaupun Giginya hampir sebagiannya sudah hilang, akan tetapi ketika pembeli datang ke toko bukunya dan menanyakan tentang isi buku yang ingin dibeli, dengan antusiasnya beliau akan bercerita. Tak jarang juga menceritakan tentang buku lainnya yang beliau anggap inspiratif, penting untuk dibaca orang lain. Artinya buku-buku yang beliau jual pada toko buku tersebut sebagian besar beliau nikmati lebih dahulu sembari menunggu ada yang datang ke toko bukunya. Usia senja tak menyurutkan minatnya untuk melahap bahan bacaan yang beliau tertarik untuk membacanya.

Berbeda sekali dengan kondisi generasi muda (peserta didik) kita sekarang, dari pada mereka suntuk dengan bahan bacaan, mereka lebih menikmati dibuai angan-angan kosong dengan sodoran program-program televisi bertajuk anak-anak gaul dengan kehidupan glamor, hedonis ala anak-anak kota besar yang menyesakkan dada dan miris sekali untuk disaksikan. Semestinya media juga mengambil peran penting untuk menyiarkan program-program yang mendidik dan inspiratif, bukan hanya sinetron tak jelas yang malah merusak moral peserta didik. Menelusuri tentang ranah media edukatif tidak terlepas pula dari peran kontrol yang dilakoni oleh KPI sebagai lembaga negara yang sekarang lebih jelas disusupi ajang bisnis dengan sistim kapitalis terhadap rating-rating acara yang boleh atau tidak untuk disiarkan.

Berbicara tentang inspirasi, ada banyak hal yang menjadi sumber inspirasi itu sendiri, Yang bergelut dengan media audio-Visual, inspirasi banyak disajikan dalam bentuk video, foto-foto inspiratif atau lagu-lagu, maupun podcast dari sebuah acara bincang-bincang bersama tokoh-tokoh yang memiliki dedikasi terhadap pembangunan bangsa,  baik dari segi karakter manusianya maupun segi fisik dari bangsa itu sendiri.

Tak jarang inspirasi itu juga direduksi dari bahan-bahan bacaan yang memupuk semangat dan memotivasi untuk terus berjuang, mengabdikan diri pada bangsa dalam segala hal semampu yang kita lakukan. Sedangkan untuk menginspirasi generasi muda supaya mereka memiliki semangat untuk berkarya atau terus berprestasi, termotivasi dalam menuntut ilmu, bahan bacaan cukup tepat sebagai media, sekaligus menumbuh kembangkan budaya membaca dimulai sejak mereka masih di bangku sekolah dasar.

Mengapa generasi muda kita malas membaca, itu disebabkan suplementasi bacaan yang tidak mendukung  sama sekali terhadap minat mereka untuk membaca. Bahkan banyak sekolah swasta yang dikelola yayasan di beberapa daerah ( contohnya di NTB) ada yang tidak memiliki perpustakaan, padahal perpustakaan merupakan hal penting sebagai tempat menjejaki wawasan peserta didik.

Sewaktu penulis masih di bangku MI (Madrasah Ibtidaiyah), salah satu bahan bacaan yang cukup menarik di Madrasah yaitu Majalah Asyik dengan tokoh utama Asyik (kucing), dan beberapa temannya Cici (kelinci), danil (Kuda Nil), dan lain-lainnya yang penulis lupa lagi tokoh-tokoh pada majalah tersebut. Biasanya di halaman depan dibuat semacam komik mini membahas tema kesehatan, dengan gambar yang cukup menarik. Lalu pada kolom berkirim karya kita bisa mendapatkan karya-karya peserta didik, baik berupa Cerpen, Puisi, yang dimuat pada kolom Karyaku, pastinya cukup membanggakan bagi penulisnya maupun bagi sekolah yang disebutkan dalam terbitan itu.

Masih banyak hal-hal menarik dan inspiratif yang disajikan majalah Asyik tersebut, salah satu yang paling penulis gemari yaitu pada halaman terakhir yang disambung ke sampul belakang, isinya tentang cerita-cerita daerah yang ada di Indonesia. Dari majalah Asyik itulah penulis tahu tentang Legenda Malin Kundang, Atu Belah, Tangkuban Perahu, legenda asal mula nama suatu daerah dan lain-lainnya. Intinya majalah Asyik tersebut mencoba menyajikan konten lokal daerah yang beragam agar pembaca (bidikan khususnya peserta didik) dapat mengetahui keragaman budaya bangsa kita. Secara umumnya majalah tersebut bisa dikatakan berhasil menumbuh kembangkan minat baca kami dahulu, di samping itu terbitan tersebut didistribusikan secara gratis ke tiap sekolah tidak seperti majalah anak lainnya yang dijual secara komersil.

Selain majalah Asyik, sumbangan buku-buku dari pusat perbukuan nasional juga cukup membantu dalam menumbuhkan minat membaca kami. Pada beberapa buku yang penulis baca di Madrasah dahulu, di sampul depannya biasanya tertulis “Milik Negara Tidak Diperdagangkan” atau di halaman pertama tertulis ” Buku Ini merupakan pemenang sayembara penulisan naskah yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Nasional tahun……”, yang artinya Pusat Perbukuan Nasional dahulu sering mengadakan sayembara penulisan buku, lalu mereka yang terbitkan dan layak untuk disebarkan ke seluruh perpustakaan di tanah air. Tak jarang penulis dari berbagai daerah yang menampilkan cerita rakyat dari daerah mereka menjadi buku favorit yang dicari anak-anak sekolah.

Begitu juga yang penulis alami hingga menginjak bangku MTs. (Madrasah Tsanawiyah), tulisan-tulisan yang memuat konten lokal daerah NTB menjadi bahan buruan untuk dinikmati di rumah. Karena di Madrasah tidak ada perpustakaan, maka buku-buku sumbangan tersebut ditempatkan juga di ruang guru. Nah, untuk mendapatkan buku-buku bacaan tersebut dari pada hanya dipajang di ruang guru, penulis selalu datang lebih awal, biasanya langsung membersihkan ruang guru, atau sekedar masuk dengan tujuan mengambil kapur tulis, penulis sempatkan untuk menelusuri buku-buku yng tersimpan di rak, lalu membawa satu atau dua buku yang penulis anggap menarik untuk dibaca. Ketika selesai dibaca di rumah, pengembaliannya pun secara diam-diam pula di pagi hari yang belum ada seorang pun datang. Kejadian tersebut penulis lakoni sampai tidak ada lagi buku yang penulis anggap menarik untuk dibaca dari buku-buku tersebut.

Beranjak ke bangku SMA, kali ini pemuasan hasrat untuk bahan bacaan cukup terpenuhi di perpustakaan sekolah Negeri. Pelayanan perpustakaan cukup tertib dengan koleksi yang lebih banyak pula, dari sanalah penulis mulai mengenal Majalah Sastra Horison, buku-buku terbitan lama karya-karya fenomenal penulis Indonesia, serta banyak pula karya-karya penulis NTB yang dipatenkan oleh pusat perbukuan nasional sebagai pemenang sayembara penulisan naskah.

Namun sayangnya, pengunjung perpustakaan jarang terlihat ramai, siswa lebih banyak dijejali dengan tugas-tugas di tiap mata pelajaran tiap kali pertemuan, sehingga waktu untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah bisa dikatakan agak jarang untuk disempatkan, namun berbeda halnya dengan kami yang tak mampu membeli bahan bacaan waktu itu, perpustakaan adalah salah satu wadah pemenuhan minat kami untuk mendapatkan wawasan. Tak jarang penulis membawa pulang 2-3 buku untuk dibaca di rumah, ketika selesai penulis baca biasanya saudara saya juga berminat untuk membacanya.

Selanjutnya dengan keprihatinan terhadap minimnya minat baca peserta didik (khususnya di kampung penulis), kami pun mencoba membangun koordinasi dengan pemuda-pemuda yang ada di kampung untuk menumbuhkan minat membaca mereka. Salah satunya pernah digagas perpustakaan remaja Masjid, buku-buku sumbangan dari beberapa donatur ditempatkan di teras masjid dengan rak cukup besar, sehingga memudahkan siapapun yang berminat untuk membaca di areal masjid tersebut. waktu itu masih dalam bulan Ramadhan, dirangkaikan pula dengan pesantren Ramadhan yang dikelola remaja masjid. Akan tetapi setelah pesantren Ramadhan, perpustakaan remaja Masjid itu pun kembali sepi, bahkan beberapa buku tidak jelas keberadaannya.

Untuk meneruskan ide kreatif dalam menumbuh kembangkan minat baca generasi muda di kampung, kami pun mencoba kembali merancang program , dengan kembali berkoordinasi bersama para pemuda. Kali ini diwadahi dengan sebuah komunitas yang kami gagas, Komunitas Pemuda Kreatif ( KOMPAK). Melalui Kompak ini kami usung program “Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak” yang rencananya akan kami pusatkan di salah satu Panti Asuhan, sayangnya program ini tidak berjalan dengan baik. Bahkan donatur-donatur untuk mendapatkan sumbangan buku pun tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan, proposal yang kami masukkan ke pihak Pemda pun tidak jelas diterima atau tidaknya, dan akhirnya Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak hanya tinggal nama.

Beruntungnya ketika sampai di daerah rantauan, Penulis bertemu dengan orang-orang kreatif dan memiliki semangat mengabdikan diri untuk bangsa ini. Dengan wadah yang bertajuk ” Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara” (GPAN) yang mereka usung, penulis pun merasa perlu untuk ambil bagian di dalamnya sebagai modal awal bagaimana membangun koordinasi untuk menumbuhkan minat  baca generasi muda. Selain bertekad untuk menumbuhkan budaya membaca, melalui GPAN ini kami merancang program-program sosial sebagai pemantik semangat berbagi untuk generasi Bangsa ini, salah satunya dalam waktu dekat sedang kami rancang program Dompet Nusantara, berkunjung ke Panti Asuhan untuk berbagi alat tulis dan sedang diusahakan juga bahan bacaan yang sedang kami kumpulkan dari uluran para donatur. Di samping itu semangat untuk berbagi Inspirasi juga merasa perlu untuk dikembangkan, sehingga semakin banyak energi-energi positif yang terkumpul dan tersebar, semakin bertambah pula motivasi mereka untuk terus belajar dan bertekad untuk berjuang demi bangsa ini.

Melalui Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara ini kami mencoba mengajak pribadi-pribadi inovatif dan bertekad untuk pengabdian bersama membangun budaya membaca dan berbagi Inspirasi untuk generasi muda kita. Rencana besar untuk membumikan GPAN inilah yang mendorong kami mengajak Putra-putri daerah untuk ambil peran di dalamnya, dengan tujuan untuk bersama-sama belajar membangun koordinasi bagaimana membangun sebuah komunitas yang berafiliasi pada pengabdian.  sehingga ketika mereka kembali ke daerah masing-masing, tidak menutup kemungkinan terlintas ide untuk mengabdikan diri dan membangun sebuah komunitas yang bertujuan menumbuhkan minat baca peserta didik, melalui GPAN sebagai wadah besarnya akan siap untuk berkoordinasi di tiap daerah dalam hal pendistribusian bahan bacaan maupun pembinaan komunitas.

Karena itu sebagai wadah untuk mengabdi dan membalas jasa para pahlawan bangsa ini, Sudah semestinya kita tidak hanya berpikir tentang kesalahan pada bangsa ini, akan tetapi mencoba memberikan sumbangsih sekecil apapun itu untuk pembangunan bangsa, terlebih bagi para penerima Beasiswa (Seperti LPDP, Bidik Misi, Dikti dll) yang telah didanai dengan uang Negara, Selayaknya untuk ambil peran lebih besar sebagai balas jasa atas apa yang telah diberikan Negara. Seperti sebuah ungkapan ” Jangan berpikir tentang apa yang diberikan oleh bangsa, Tetapi pikirkan apa yang akan engkau berikan untuk Bangsa”. Karena sejatinya semua orang setuju tentang konsep seberapa besar kita memberi, bukan seberapa besar kita menerima. Sehingga implikasi dari sebuah hadits Rasulullah yang sering kita jadikan patokan tentang ” Sebaik-baik manusia yaitu yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain” mampu kita terapkan, salah satunya berkontribusi dalam membangun Bangsa.

Wadah untuk pengabdian itu pun cukup banyak yang telah digagas, salah satunya melalui GPAN ini. Jika berminat untuk bergabung membangun sebuah koordinasi, di GPAN terbuka lebar peluang untuk mewujudkannya, Bisa juga sebagai Donatur untuk pengumpulan buku maupun dana. Mari mengawali tahun baru dengan resolusi yang lebih bermanfaat untuk sesama, sebagai bukti bahwa kepedulian terhadap Bangsa ini masih terjaga.
Share: