Berbagi, Mengabdi, Bersama Membangun Negeri

Sabtu, 16 April 2016

Menulis: Babak baru dalam Budaya Masyarakat

“Jika Kamu bukan seorang Kaya, bukan juga seorang Bangsawan maka menulislah, maka dunia akan mengenang Namamu”. (Imam Syafi’i).
 Oleh : Abdul Rahim

Di era teknologi yang berkembang pesat dengan kehadiran ponsel pintar (gawai) yang kian hari semakin marak ragamnya, bisa dikatakan sebagai pendobrak yang menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat pembaca. Bayangkan di setiap momen kita melihat sebagian besar orang akan berkutat dengan ponsel pintarnya, entah itu membaca berita, atau sekedar membaca pesan atau membaca kabar berita di facebook. Bahkan ketika berkumpul bersama kawan-kawan yang seharusnya menjadikan kita untuk akrab mengobrol bersama mereka, kadang kita hanya sibuk sendiri membaca di ponsel pintar.

Ketika masyarakat kita yang telah gandrung membaca, maka sudah seharusnya juga menjadi masyarakat penulis sebagai penuangan dari isi bacaan yang telah diserap. Penyaluran minat menulis saat ini tidak terlalu susah untuk mendapatkan pembacanya. Media-media warga yang berbasis Online dengan kemudahan yang disajikan menjadi pilihan untuk publikasi tulisan. Budaya menulis saat ini sedang mengalami geliat di masyarakat kita terbukti dengan intensitas pengguna facebook update status yang berisi ungkapan hati, catatan perjalanan, kritik, tak jarang berbagi inspirasi atas apa yang telah mereka alami.

Jika kita menilik ke belakang beberapa puluh tahun lalu sebelum media Online bertebaran seperti saat ini, budaya menulis juga pernah menjadi trend dan mampu menghasilkan karya-karya besar melalui buku saku yang dikenal dengan “Diary”. Sebut saja catatan perjalanan Nugroho Notosusanto ketika menjadi bagian dari tentara pelajar untuk perjuangan kemerdekaan, catatan tersebut menjadi buku kumpulan Cerpen yang berisi sejarah dan menginformasikan kepada pembaca bagaimana gerak perjuangan para pahlawan kita. Begitu pula dengan catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi Novel “Titik Nol” dan “Selimut Debu”.

Selain itu budaya menulis masyarakat penuntut ilmu di waktu dulu juga sangat menarik untuk membaca diary mereka. Secara tidak sengaja ketika sedang mencari arsip untuk akte kelahiran di tumpukan buku-buku yang bahkan sebagian besarnya termakan rayap, saya menemukan Buku bersampul plastik yang tampak kusam, lembaran-lembaran di dalamnya pun hampir berubah warna. Dari lembar pertama tertulis nama pemiliknya disertai tanda tangan, ternyata itu buku harian Almarhum Bapak yang tertumpuk di antara buku-buku lama tersebut. Lalu pada lembar kedua berisi catatan beliau ketika mengikuti pengajian sewaktu di Pesantren dengan sistim Hauqalah (bersila). Tertulis tanggal 7 Maret 1961 di salah satu Mushalla yang disebut Al Abror, pada catatan tersebut beliau menulis poin-poin isi pengajian pada hari itu serta di akhirnya dibubuhkan Mahfuzhat (kata mutiara) yang menjadi penutup pengajian. Lembar demi lembar pada buku harian tersebut seakan bercerita bagaimana beliau menjadikan buku harian tersebut sebagai pengikat Ilmu yang telah didapatkan dari gurunya.

Salah satu mahfuzhat yang cukup berkesan saya baca pada buku harian tersebut yang kira-kira terjemahannya ” Ilmu ibarat binatang buruan, maka ikatlah binatang buruanmu dengan kuat, yaitu dengan Tulisan”. Karena dengan menulislah buku harian 50 tahun lalu masih bisa saya baca pada saat ini, isi tulisan itu pun sangat bermanfaat, tentang hukum-hukum fiqh disertai dalil yang kuat yang dirangkum oleh beliau. Tradisi tersebut terus berlanjut juga di antara saudara-saudara saya yang mendapatkan didikan di pesantren dengan sistim hauqalah ( salah satunya Mahad Darul Qur’an Wal Hadits), buku catatan harian mereka masih tersimpan, bentuk catatan tersebut persis seperti yang terdapat pada diary Almarhum Bapak. Dari segi isinya catatan harian saudara-saudara saya lebih update dengan kondisi zamannya ketika mengikuti pengajian tersebut, namun ketika membahas tentang hukum, dalilnya pun tetap sama.

Budaya menulis juga pernah menjadi penyumbang terbesar sebagai media inspirasi dalam berkarya. Buku-buku terbitan tahun 90-an sampai 2004 banyak kita temukan di sampul depannya tertulis “Milik Negara Tidak Diperjual Belikan”, atau di dalamnya juga terdapat informasi bahwa buku tersebut merupakan Pemenang Sayembara Penulisan Naskah, atau Juara dalam lomba mengarang yang biasanya diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku-buku terbitan tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi karya yang secara langsung diterbitkan oleh pusat perbukuan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan peserta didik. Maka tak jarang buku-buku seperti itu banyak kita temui di berbagai perpustakaan Lembaga Pendidikan, karena ketika sudah diterbitkan oleh pusat perbukuan maka akan didistribusikan langsung kepada lembaga-lembaga pendidikan, sekaligus sebagai sebuah promosi atas karya tersebut.

Salah satu media yang cukup inspiratif waktu dulu (sekitar tahun 95) sebagai tempat menyalurkan minat menulis yaitu majalah Asyik,  dengan tokoh utama si kucing. Majalah Asyik bisa dikatakan majalah Favorit yang selalu ditunggu-tunggu untuk setiap edisinya, lebih-lebih dengan sajian konten lokal yang sarat dengan nilai inspirasi, menjadikan majalah tersebut sebagai bacaan wajib untuk anak-anak sekolah dasar. Pada Rubrik sastra juga banyak diterbitkan kiriman-kiriman tulisan dari siswa-siswa yang menjadi kebanggan bagi suatu sekolah yang karya siswa mereka dimuat di majalah Asyik. Namun sangat disayangkan majalah tersebut tidak bertahan cukup lama, tergeser dengan budaya visual televisi, yang sempat menjadikan anak-anak sekolah menjadi malas membaca dan lebih gandrung dengan acara-acara televisi yang lebih banyak menjadikan karakter siswa kita menjadi hedonis dengan konten-konten yang ditampilkan di TV.

“Menulis adalah salah satu jalan mengabadikan nama kita untuk dikenang” ( Baim Lc),  setidaknya kata-kata inilah yang menjadi motto yang saya tuliskan dalam lembar motto dan persembahan skripsi. Jika saja filsuf-filsuf besar, Ilmuan Muslim, ataupun ilmuan besar lainnya tidak menulis, maka tidak ada yang akan mengenang mereka. Imam Gazhali dengan Ihya’ ulumuddin yang tersohor sampai dijadikan rujukan oleh filsuf-filsuf besar lainnya, nama beliau masih tetap hidup sampai sekarang karena budaya menulis yang beliau tanamkan pada diri sendiri. begitu pula Ibnu Sina, al farabi, Ibnu Rusyd, Al kindi dan lainnya dapat kita kenal sampai saat ini karena mereka menulis dan mencatatkan nama mereka di antara jajaran Ilmuan muslim yang mempunyai karya besar dan relevan sampai sekarang.

Bahkan Al Qur’an yang agung dapat kita kaji sampai detik ini dalam bentuk Utuhnya sebuah kitab, muncul karena budaya Menulis yang ditakutkan akan hilang jika tidak ditulis. Karena wahyu yang diterima Rasulullah bukan dalam bentuk tulisan akan tetapi ilham-ilham maupun bisikan  (lisan) yang langsung dapat dihapal oleh beliau. Barulah ketika masa khalifah Abu Bakar setelah terjadinya perang Yamamah (Perang melawan Nabi Palsu, Musailimah Al Kadzab), banyak di antara penghafal Al Qur’an yang wafat, ketakutan akan hilangnya Al qur’an inilah yang membuat Umar Bin Khattab tergerak untuk mengumpulkan para sahabat penghapal Al Qur’an untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ilham untuk menuliskan Al Qur’an ini sudah pasti dari Allah SWT sesuai dengan firman-Nya ” Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur’an dan kami pula yang akan menjaganya (Al Hijr : 9). Secara tersirat penulisan al qur’an ini sebagai ibroh ( pelajaran) bahwa dengan tulisan sesuatu dapat bertahan bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sebut saja penulis-penulis besar yang cukup berpengaruh di Indonesia dalam dunia kepenulisan, seperti Buya Hamka, Chairil Anwar, Pramoedya, A.A Navis dan lainnya, nama mereka sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam kajian-kajian keilmuan, baik sejarah maupun semangat gerakan perjuangan yang digaungkan melalui tulisan mereka. Melalui Tulisan, Pramoedya membingkai sejarah revolusi bangsa kita yang sekarang telah dikenal luas,  sehingga melejitkan nama Pram dengan slogan,  Dari Indonesia Untuk Dunia. Dengan tulisan pula semangat perjuangan yang digaungkan para pahlawan bangsa kita dapat kita tahu dan tergerak untuk mengenangnya. Karena sejarah yang tidak dituliskan hanya akan menjadi ingatan yang hilang ditelan zaman.

Maka pantas saja salah seorang Budayawan NTB, Salman Faris, dengan novel budaya dan novel sejarah yang dibingkai dengan sastra pernah mengatakan, ” Tulisan itu lebih abadi, bahkan melebihi anak kita sendiri”, dan itu sudah terbukti, tulisan-tulisan ber-abad-abad lalu masih dapat kita nikmati sampai saat ini. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa penulis sudah pasti orang yang berilmu, bukan orang bodoh, dan janji Allah sudah pasti bagi orang yang berilmu ” Sesungguhnya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat”. (Al Mujadalah : 11), karena tulisanlah banyak orang-orang biasa yang bukan orang kaya atau pun bangsawan dapat dikenal luas, sebagaimana halnya mahfuzhat Imam Syafi’i di atas.

Menulis merupakan salah satu cara mengorganisir pikiran, maka tidak menutup kemungkinan menulis juga merupakan salah satu refleksi untuk menenangkan pikiran. Dengan menuangkannya melalui tulisan setidaknya pikiran yang menjadi beban akan terasa lebih ringan walaupun hanya dibaca oleh diri kita sendiri. Menulis bukan hanya untuk mendapatkan pujian, atau juga kepedulian dari pembaca, akan tetapi dengan menulis, pikiran maupun ide-ide yang tersimpan dalam otak kita mendapatkan ruangnya untuk ditumpahkan dan seakan lebih hidup dari pada hanya tersimpan di otak.

Salah satu Buku “menyikapi krisis Inovasi Daerah, yang merupakan buah karya dari seorang birokrat, mantan Wakil Gubernur NTB, Badrul Munir menuliskan tentang Inovasi-inovasi yang seharusnya dilakukan oleh daerah sebagai sebuah strategi dalam percepatan pembangunan, lebih khusus pada buku tersebut tentang pembangunan sosial dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sub judul isi buku tersebut yaitu ” Kaya sarjana Miskin Karya”, setiap tahun kampus-kampus kita di daerah mengeluarkan ribuan sarjana, namun butuh bertahun-tahun menunggu satu orang yang mengeluarkan karya besar. Perguruan Tinggi pun hendaknya melakukan Inovasi untuk mencetak sarjana-sarjana yang menyumbangkan karya untuk daerah.

Jika dalam buku tersebut yang dibahas hanya inovasi dalam bidang sosial dan pengentasan kemiskinan, maka inovasi dalam bidang Pendidikan, Literasi dan Budaya hendaknya dipertimbangkan juga untuk tercapainya percepatan pembangunan. Salah satu Inovasi dalam bidang pendidikan dan Budaya yaitu budaya menulis yang seharusnya mendapat ruang apresiasi dan diakomodir oleh pemerintah Daerah yang notabenenya sebagai wakil dari Negara untuk membentuk sebuah lembaga sebagai wadah apresiasi suatu karya.

Penyediaan wadah apresiasi dari sebuah karya dapat dilakukan dengan menyediakan penerbitan berskala Nasional yang merupakan bagian dari lembaga Kepemerintahan Daerah, serta dengan diintensifkannya lomba-lomba penulisan karya. Secara sederhananya Pusat Perbukuan untuk daerah merupakan sebuah Inovasi yang cukup baik untuk membangun budaya Literasi. Banyak kita temukan penulis-penulis daerah yang  bertalenta berbagi inspirasi melalui tulisan menerbitkan karyanya pada penerbit-penerbit luar yang didominasi di pulau Jawa. Itupun kadang menggunakan Biaya sendiri dengan sistem penjualan pribadi dari karya tersebut, padahal kapasitas Pemerintah Daerah untuk mengelola penerbit sendiri yang berskala Nasional bisa saja digulirkan di bawah pengawasan lembaga Pemerintah Daerah seperti BAPPEDA, Perpustakaan Daerah, atau Kantor Bahasa yang membidangi Literasi.

Maka budaya menulis tersebut sangat representative sebagai sebuah Inovasi dalam berbagi Inspirasi yang sudah sewajarnya mendapat dukungan dari semua pihak, lebih-lebih pemerintah daerah. Pun, demikian dengan Media online di NTB yang digulirkan bertajuk Kampung Media, kadang tidak semua lapisan masyarakat mampu menikmati fasilitas untuk akses website tersebut yang memang banyak pula berbagi inspirasi di dalamnya. Untuk itu inovasi untuk pusat perbukuan daerah dengan penyediaan Penerbitan berskala nasional akan sangat banyak mendapatkan apresiasi dan antusias,  sehingga geliat masyarakat untuk membudayakan literasi dalam berbagi inspirasi akan menemukan titik temunya, dan melalui pusat perbukuan daerah dengan distribusi buku hasil karya warga daerah akan semakin membuka wawasan generasi muda daerah untuk gemar membaca demi tercapainya pemerataan pendidikan yang memadai di tiap daerah.

Di samping itu pengadaan Lomba/sayembara penulisan naskah merupakan sebuah wadah untuk apresiasi semangat literasi di daerah,  yang akan mampu mendobrak minat dan penekunan budaya menulis sebagai sebuah langkah awal dalam berbagi inspirasi. Untuk itu program Kelas Menulis, Bedah Karya atau Sekolah Menulis seperti yang telah dicanangkan BAPEDA termasuk sebuah Inovasi dalam membangun budaya. Hal ini sejalan dengan rancangan Peraturan Gubernur yang pernah digaungkan tentang habitus membaca sastra, karena melalui gemar membaca, keluasan wawasan masyarakat akan sangat membantu demi terwujudnya pendidikan yang baik.

Apatah lagi sekarang ini kita tergerak membangun budaya Literasi, membaca saja bukan lagi hal menarik bagi generasi muda di tingkat pelajar, sebab banyak membaca akan tergerak pula ide untuk menulis. Lebih banyak kita temukan siswa-siswa kita lebih tekun duduk di tepan TV dari pada terpekur menikmati buku. Untuk itu dengan semangat Inovasi dalam membangun budaya baik ini, sudah sewajarnya digaungkan gerakan-gerakan kreatif seperti yang diungkap di atas demi terwujudnya tujuan ini
Share:

0 komentar:

Posting Komentar